Untuk pengaturan Multi Level Marketing (MLM) syariah, DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI telah menerbitkan Fatwa DSN No : 75/DSN MUI/VII 2009 tentang PLBS (Penjualan langsung Berjenjang Syariah), namun
regulasi yang berbentuk UU atau peraturan lain tentang MLM syariah
secara khusus memang belum ada. Bahkan di kalangan akademisi banyak yang
memandang remeh MLM dan meragukan kehalalannya.
Padahal, di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 8 juta penduduk yang terlibat aktif dalam industry MLM. Karena Syariah Islam harus menjawab semua permasalahan ummatnya, maka kajian tentang hal ini menjadi penting. Saat ini di Indonesia ada sekitar 600 perusahaan MLM, dan 62 diantaranya adalah legal dan sudah menjadi anggota APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) sebagai wadah resmi perusahaan MLM di Indonesia.
Secara singkat ada 12 point persyaratan yang harus terdapat dalam sebuah industri / peusahaan MLM. Sebuah perusahaan atau industry MLM dianggap HALAL dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yaitu :
Padahal, di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 8 juta penduduk yang terlibat aktif dalam industry MLM. Karena Syariah Islam harus menjawab semua permasalahan ummatnya, maka kajian tentang hal ini menjadi penting. Saat ini di Indonesia ada sekitar 600 perusahaan MLM, dan 62 diantaranya adalah legal dan sudah menjadi anggota APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) sebagai wadah resmi perusahaan MLM di Indonesia.
Secara singkat ada 12 point persyaratan yang harus terdapat dalam sebuah industri / peusahaan MLM. Sebuah perusahaan atau industry MLM dianggap HALAL dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yaitu :
- Adanya obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;
- Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
- Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba, dharar, dzulm, maksiat;
- Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;
- Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;
- Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
- Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
- Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.Ighra' adalah daya tarik luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya demi melakukan hal-hal atau transaksi dalam rangka memperoleh bonus atau komisi yang dijanjikan
- Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;
- Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lainlain;
- Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;
- Tidak melakukan kegiatan money game.
Money game didefinisikan sebagai : kegiatan
penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik
memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/ pendaftran Mitra
Usaha yang baru/bergabung kemudian, dan bukan dari hasil penjualan
produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual
tersebut hanya kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yg dapat
dipertanggungjawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar